Datangnya cinta tidak dapat ditebak, tidak mengenal musim,
waktu maupun tempat. Cinta awalnya menawarkan masa-masa yang indah, akan tetapi
dalam perjalanannya cinta juga bisa menimbulkan penderitaan. Dua sisi cinta ini
sudah menjadi makanan sehari-hari yang hadir dalam fase kehidupan manusia.
Kebingungan dalam menghadapi percintaan membuat orang mencari-cari rumus pasti
dalam percintaan.
Usaha mencari contoh cinta yang ideal dimulai dari layar kaca, layar
bioskop maupun buku-buku pengembangan diri. Di lingkup gereja sendiri,
percintaan mendapatkan porsi tertentu untuk dibahas, biasanya di musim
Valentine atau di bulan Februari. Setelah itu topik-topik cinta mulai
ditinggalkan, beralih pada hal-hal lain yang memang dirasa lebih penting untuk
dibahas.
Di dalam Alkitab, kisah cinta tampak terangkai melalui
bahasa yang puitis di dalam kitab Kidung Agung. Sayangnya kepuitisan Kidung
Agung malah terkesan tidak jelas dan ditangkap kurang relevan dengan hubungan
cinta di masa kini. Selain Kidung Agung, ada beberapa kisah mengenai pertemuan
sepasang individu seperti Ishak dan Ribka, Simson dan Delila, atau hubungan
antara Yakub , Lea dan Rahel.
Kisah Ishak dan Ribka tampak tertulis singkat, sedangkan
Simson dan Delila seperti bukan pasangan yang tepat untuk dicontoh. Begitu juga
konteks perkawinan Yakub, Lea dan Rahel kelihatan kurang pas kalau mau ditarik
ke dalam budaya masa kini.
Kalau mau sedikit lebih teliti, sebenarnya kisah percintaan
turut terangkai dalam proses lahirnya Yesus sang Juruselamat ke dunia.
Percintaan yang kudus antara Yusuf dan Maria, sepasang insan manusia yang
karena cintanya kepada Tuhan , bersedia untuk mengemban peranan sebagai
orangtua duniawi bagi Yesus Kristus selama hidupnya di dunia.
Menyebut nama Maria, terbersit dalam pikiran kita mengenai
berbagai kutipan ayat, cerita dan devosi terhadap dirinya. Tulisan-tulisan
mengenai Maria bunda Yesus mudah untuk ditemukan dalam berbagai sumber. Begitu
juga dengan lukisan maupun patung yang menggambarkan sosok Maria juga hadir di
dalam bangunan gereja, galeri seni atau di beberapa tempat bersejarah di Eropa.
Bagaimana dengan Yusuf?
Yusuf ayah dari Yesus mendapatkan porsi penulisan yang tidak
terlalu banyak di Alkitab. Bahkan Yusuf “tidak kebagian” dialog dalam Alkitab.
Ia hanya diceritakan dalam bentuk narasi. Seringkali kalau menyebut nama Yusuf,
orang akan lebih banyak teringat pada Yusuf anak Yakub yang kisahnya ditulis dalam
beberapa pasal di Perjanjian Lama.
Bila Yusuf anak Yakub pada akhir hidupnya diangkat menjadi
pejabat tinggi di Mesir yang mempunyai kekuasaan hampir menyamai Firaun, Yusuf
ayah Yesus kelihatan tetap hidup sebagai orang yang biasa-biasa aja. Hal ini tampak
ketika orang-orang mencela Yesus sebagai anak tukang kayu yang dapat kita baca
dalam penggalan Matius 13 : 55 – 56.
“Bukankah Ia ini anak tukang kayu (Yusuf)?”
Apa hebatnya si tukang kayu ini?
Yusuf seorang laki-laki biasa yang mencintai Maria. Cintanya
kepada Maria membuatnya memutuskan untuk menceraikan Maria secara diam-diam
ketika mengetahui bahwa Maria telah mengandung. Mengakui anak yang di kandungan
Maria sebagai anaknya akan membuat Yusuf tampil sebagai seorang pendusta.
Sementara bila ia menginterograsi Maria dan memaksa Maria mengaku, ini akan
menimbulkan masalah. Maria bisa dianggap telah berzinah dan secara hukum yang
berlaku pada masa itu, wanita yang berzinah akan dihukum dengan cara dilempari
batu sampai mati.
Keputusan yang dibuat Yusuf dikuatkan dalam keterangan yang
tertulis pada Alkitab : “tidak mau mencemarkan nama istrinya di muka umum”
Matius 2 : 19. Yusuf ingin berpisah dengan Maria demi kebaikan Maria sendiri.
Yusuf adalah seorang yang tulus hati, ia mencintai Maria
dengan sepenuh hatinya. Ia pada awalnya tidak tahu bahwa Maria mengandung dari
Roh Kudus. Yang secara logis bisa terpikirkan bila kita dalam posisi Yusuf
adalah Maria mengandung karena berhubungan dengan laki-laki lain. Yusuf
sebenarnya mempunyai hak untuk marah dan menuntut Maria, bahkan membiarkannya
dihukum secara adat. Akan tetapi Yusuf lebih memilih untuk memutuskan
(meninggalkan) Maria secara diam-diam.
Kisah pembuka mengenai Yusuf tampak menampilkan Yusuf
sebagai laki-laki yang “lulus” dari ujian yang diberikan oleh Tuhan. Sebagai
seorang laki-laki Yusuf tidak memaksakan egonya, seperti manusia pada umumnya.
Ia mungkin merasa dikhianati, tetapi itu tidak mengurangi rasa cintanya. Ia
bisa menuntut tetapi ia tidak melakukannya. Yusuf berbesar hati dan memilih
untuk bersikap “mengampuni”.
Yusuf tidak menonjolkan egonya, ia tidak mencari-cari siapa
laki-laki yang berhubungan dengan Maria, ia tidak meneror Maria. Ia melakukan
sesuatu yang langka untuk dilakukan oleh orang-orang pada umumnya. Yusuf
mengambil keputusan untuk melepaskan Maria. Yusuf tidak mencintai secara
posesif. Tidak menganggap Maria sebagai hak yang harus dimiliki secara penuh
hanya untuk dirinya. Yusuf berani melepaskan orang yang ia cintai demi kebaikan
orang tersebut.
Yusuf tidak sekedar mengampuni, ia bisa melepaskan.
Berapa banyak dari kita yang mungkin bisa mengampuni, tetapi
tidak bisa melepaskan?
Kita mendendam, dan hanya mengingat hal-hal yang buruk
dari orang yang pernah melukai kita. Entah itu mantan, teman, atau anggota
keluarga kita.
Yusuf memilliki mencintai Maria seperti ia mencintai dirinya
sendiri. Ia tidak membiarkan ego merusak dirinya. Ia juga tidak membiarkan rasa
posesif “menghukum” Maria.
Kisah Yusuf yang singkat diawali dengan rasa cinta yang luar
biasa.
Mengetahui ketulusan hati Yusuf, Tuhan kemudian mengirimkan
Malaikat untuk menjelaskan kepadanya mengenai apa yang sebenarnya terjadi.
Yusuf telah “lulus” ujian, sekarang saatnya ia mengawali
tugas pelayanannya.
Yusuf harus membawa Maria yang sedang mengandung untuk
menggenapi janji Tuhan kepada umat Nya.
Tetapi engkau, hai Betlehem Efrata, hai yang terkecil di antara
kaum-kaum Yehuda, dari padamu akan bangkit bagi-Ku seorang yang akan
memerintah Israel, yang permulaannya sudah sejak purbakala, sejak dahulu
kala. (Mikha 5 : 1)
120 Km harus ia
tempuh bersama dengan Maria yang sedang mengandung. Ini bukan perjalanan yang
mudah. Karenanya sosok Yusuf diperlukan untuk menjaga Maria. Yusuf mau
menjalaninya tanpa merasa direpotkan oleh Maria. Tentu perjalanannya akan lebih
mudah kalau ia benar-benar menceraikan Maria. Ia tidak perlu bersusah payah
membawa Maria ke Betlehem.
Akan tetapi karena
ketaatannya kepada Tuhan dan cintanya kepada Maria, ia bersedia pergi ke
Betlehem. Ia bisa saja meninggalkan Maria. Tetapi Yusuf memilih untuk membawa
Maria, untuk didaftarkan dalam sensus yang dilakukan di Betlehem. Artinya
secara hukum dan di depan masyarakat, Yusuf mengakui Maria sebagai istrinya. Ia
tidak sekedar menerima Maria karena “ini adalah perintah Tuhan” tetapi memang
ia mencintai Maria dan ingin menyatakannya melalui hukum yang sah.
Misi menjaga Maria
dalam perjalanan benar-benar ia lakukan dengan baik. Ia pun tidak menampakkan
rasa kecewa ketika yang didapati di Betlehem hanyalah sebuah palungan.
Matius 2 : 6
Ketika mereka di situ, tibalah waktunya bagi Maria untuk
bersalin.
Yusuf tidak membuang-buang waktu memaksa orang untuk
menerima keluarganya (karena yang dikandung Maria adalah Juruselamat), ia
sekali lagi tidak memajukan egonya. Yusuf memilih untuk mendahulukan kondisi
Maria yang akan melahirkan. Ia membantu dan mendampingi Maria dalam
persalinannya. Yusuf menjadi orang pertama yang menyentuh tubuh mungil sang
Juruselamat.
Waktu pun berjalan dan keluarga kecil ini bisa menikmati
kedamaian. Akan tetapi mereka harus segera mengungsi ke Mesir karena Herodes
penguasa yang kejam takut akan kehadiran Sang Juruselamat. Yusuf sekali lagi
harus menjaga Maria dan Yesus yang masih kecil untuk mengungsi ke Mesir. Dengan
bekal dan harta seadanya mereka pergi ke Mesir.
Pengungsian ke Mesir tidaklah sesederhana yang kita
bayangkan. Yusuf harus melepaskan cita-cita untuk menjadi seorang yang mapan.
Kalau kita baca di Alkitab, Yusuf seolah tidak punya waktu untuk membangun
kehidupan karirnya. Karena setelah beberapa saat di Mesir, Tuhan memerintahkan
Yusuf untuk kembali ke tanah Israel, itu pun tidak ke Betlehem, tetapi kembali
lagi ke Nazaret.
Demi keamanan keluarganya, Yusuf harus ikut
berpindah-pindah. Tinggal sebagai orang asing. Memulai usaha, lalu mengulang
lagi dari awal. Ini pengorbanan yang luar biasa. Seorang pemuda yang bersedia
mengorbankan karirnya demi keluarga yang ia sayangi.
Adakah kita bersedia melepaskan karir dan kemapanan kita
demi cinta kita kepada Tuhan?
Keputusan mengorbankan kemapanannya tampak jauh lebih baik
daripada gambaran laki-laki macho yang sering ditampilkan di media.
Yusuf, lelaki yang dipilih Tuhan, bukanlah sosok jagoan yang
pandai berkelahi. Ia tampak mempunyai rasa takut ketika mendengar Arkhelaus
menggantikan Herodes untuk menjadi raja (Matius 2 : 22 -23). Disini tampak
Tuhan tidak memilih seorang laki-laki yang tampak seperti jagoan, tetapi Ia
memilih orang yang setia dan taat. Tuhan memilih pendamping yang bersedia
mengorbankan hidupnya untuk menjaga Maria dan Yesus, yang tidak mengedepankan
ego dan mengejar kesuksesan karirnya semata.
Masa muda yang dihabiskan sebagai orang asing dan
berpindah-pindah bersama keluarganya tampak membuat Yusuf tidak dapat
benar-benar memajukan usahanya.Hal ini tampak dari persembahan burung merpati
yang ia berikan di Bait Allah (Lukas 2 : 22-24). Persembahan yang diberikan
orang yang kaya akan materi biasanya berupa domba atau lembu. Tetapi Yusuf
hanya dapat mempersembahkan burung merpati yang harganya jauh lebih rendah.
Disini terlihat bahwa laki – laki yang mendampingi Maria tampak bukanlah
seorang laki-laki dengan kekayaan yang melimpah.
Ini adalah suatu konsep yang berbeda dengan yang kita jumpai
di masa kini. Dimana yang diutamakan dalam suatu hubungan adalah ketersediaan
materi.
Yusuf, di mata Maria mempunyai sesuatu yang lebih dari
sekedar materi. Ia mempunyai cinta yang tulus dan ketaatan akan Tuhan.
Dua merpati yang ia korbankan dipandang sempurna karena
Yusuf telah mempersembahkan hidupnya untuk kemuliaan Tuhan. Yusuf tidak pernah
menjadi kaya dan hanya dikenal sebagai tukang kayu seumur hidupnya. Nama Yusuf
juga tidak pernah menjadi lebih populer daripada Maria, wanita yang ia cintai.
Namun dibalik “tenggelamnya” nama Yusuf, ada kisah-kisah tak tertulis mengenai
bagaimana ia menjadi seorang figur ayah bagi Yesus dan sebagai pendamping yang
tepat untuk Maria.
Yusuf tidak pernah menyesal untuk mencintai Maria, wanita
yang membawa hidupnya ke dalam “ketidakmapanan”.
Begitu juga Tuhan pun tidak pernah meninggalkan hidup Yusuf.
Seperti Yusuf yang menggenggam tangan kecil Yesus, demikian juga Tuhan terus
menyertai perjalanan hidup Yusuf. Di dalam keterasingan, ketakutan dan
ketidakmapanan, Ia tetap menggenggam hidup Yusuf di dalam pemeliharaanNya.
Kisah cinta Yusuf dan
Maria serta hubungan mereka dengan Tuhan tampak kontras dengan hubungan
percintaan di masa kini yang dicengkram oleh ego, rasa posesif, ketergantungan
akan materi serta segala sesuatu yang hanya tampak luar saja (penampilan fisik,
popularitas).
Yusuf yang tidak berdialog melalui kata-kata di dalam
Alkitab tampak lebih banyak “berdialog” kepada kita melalui tindakan yang ia
tunjukkan. Cintanya nyata dalam tindakan, bukan hanya sekedar kata-kata yang
indah. Ia menyatakan bahwa cinta membutuhkan ketulusan, kerendahatian dan
pengorbanan. Terlebih lagi cinta membutuhkan ketaatan dan kepercayaan pada
pemeliharaan Tuhan.
Cinta Yusuf bukan sekedar inspirasi di hari Valentine atau
Natal, tetapi merupakan teladan yang dapat kita nyatakan dalam kehidupan
sehari-hari dalam hubungan dengan orang yang kita cintai.
Tuhan memberkati.
*Bila ada diantara pembaca yang membutuhkan dukungan doa dan ayat Alkitab sebagai penuntun kehidupan, dapat menghubungi kami pada link ini :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar