Rabu, 28 Juni 2017

Yusuf yang Mencintai Maria




Datangnya cinta tidak dapat ditebak, tidak mengenal musim, waktu maupun tempat. Cinta awalnya menawarkan masa-masa yang indah, akan tetapi dalam perjalanannya cinta juga bisa menimbulkan penderitaan. Dua sisi cinta ini sudah menjadi makanan sehari-hari yang hadir dalam fase kehidupan manusia. Kebingungan dalam menghadapi percintaan membuat orang mencari-cari rumus pasti dalam percintaan.

Usaha mencari contoh cinta yang ideal dimulai dari layar kaca, layar bioskop maupun buku-buku pengembangan diri. Di lingkup gereja sendiri, percintaan mendapatkan porsi tertentu untuk dibahas, biasanya di musim Valentine atau di bulan Februari. Setelah itu topik-topik cinta mulai ditinggalkan, beralih pada hal-hal lain yang memang dirasa lebih penting untuk dibahas.

Di dalam Alkitab, kisah cinta tampak terangkai melalui bahasa yang puitis di dalam kitab Kidung Agung. Sayangnya kepuitisan Kidung Agung malah terkesan tidak jelas dan ditangkap kurang relevan dengan hubungan cinta di masa kini. Selain Kidung Agung, ada beberapa kisah mengenai pertemuan sepasang individu seperti Ishak dan Ribka, Simson dan Delila, atau hubungan antara Yakub , Lea dan Rahel.

Kisah Ishak dan Ribka tampak tertulis singkat, sedangkan Simson dan Delila seperti bukan pasangan yang tepat untuk dicontoh. Begitu juga konteks perkawinan Yakub, Lea dan Rahel kelihatan kurang pas kalau mau ditarik ke dalam budaya masa kini.

Kalau mau sedikit lebih teliti, sebenarnya kisah percintaan turut terangkai dalam proses lahirnya Yesus sang Juruselamat ke dunia. Percintaan yang kudus antara Yusuf dan Maria, sepasang insan manusia yang karena cintanya kepada Tuhan , bersedia untuk mengemban peranan sebagai orangtua duniawi bagi Yesus Kristus selama hidupnya di dunia.

Menyebut nama Maria, terbersit dalam pikiran kita mengenai berbagai kutipan ayat, cerita dan devosi terhadap dirinya. Tulisan-tulisan mengenai Maria bunda Yesus mudah untuk ditemukan dalam berbagai sumber. Begitu juga dengan lukisan maupun patung yang menggambarkan sosok Maria juga hadir di dalam bangunan gereja, galeri seni atau di beberapa tempat bersejarah di Eropa.

Bagaimana dengan Yusuf?
Yusuf ayah dari Yesus mendapatkan porsi penulisan yang tidak terlalu banyak di Alkitab. Bahkan Yusuf “tidak kebagian” dialog dalam Alkitab. Ia hanya diceritakan dalam bentuk narasi. Seringkali kalau menyebut nama Yusuf, orang akan lebih banyak teringat pada Yusuf anak Yakub yang kisahnya ditulis dalam beberapa pasal di Perjanjian Lama.

Bila Yusuf anak Yakub pada akhir hidupnya diangkat menjadi pejabat tinggi di Mesir yang mempunyai kekuasaan hampir menyamai Firaun, Yusuf ayah Yesus kelihatan tetap hidup sebagai orang yang biasa-biasa aja. Hal ini tampak ketika orang-orang mencela Yesus sebagai anak tukang kayu yang dapat kita baca dalam penggalan Matius 13 : 55 – 56.

“Bukankah Ia ini anak tukang kayu (Yusuf)?”

Apa hebatnya si tukang kayu ini?

Yusuf seorang laki-laki biasa yang mencintai Maria. Cintanya kepada Maria membuatnya memutuskan untuk menceraikan Maria secara diam-diam ketika mengetahui bahwa Maria telah mengandung. Mengakui anak yang di kandungan Maria sebagai anaknya akan membuat Yusuf tampil sebagai seorang pendusta. Sementara bila ia menginterograsi Maria dan memaksa Maria mengaku, ini akan menimbulkan masalah. Maria bisa dianggap telah berzinah dan secara hukum yang berlaku pada masa itu, wanita yang berzinah akan dihukum dengan cara dilempari batu sampai mati.

Keputusan yang dibuat Yusuf dikuatkan dalam keterangan yang tertulis pada Alkitab : “tidak mau mencemarkan nama istrinya di muka umum” Matius 2 : 19. Yusuf ingin berpisah dengan Maria demi kebaikan Maria sendiri.

Yusuf adalah seorang yang tulus hati, ia mencintai Maria dengan sepenuh hatinya. Ia pada awalnya tidak tahu bahwa Maria mengandung dari Roh Kudus. Yang secara logis bisa terpikirkan bila kita dalam posisi Yusuf adalah Maria mengandung karena berhubungan dengan laki-laki lain. Yusuf sebenarnya mempunyai hak untuk marah dan menuntut Maria, bahkan membiarkannya dihukum secara adat. Akan tetapi Yusuf lebih memilih untuk memutuskan (meninggalkan) Maria secara diam-diam.

Kisah pembuka mengenai Yusuf tampak menampilkan Yusuf sebagai laki-laki yang “lulus” dari ujian yang diberikan oleh Tuhan. Sebagai seorang laki-laki Yusuf tidak memaksakan egonya, seperti manusia pada umumnya. Ia mungkin merasa dikhianati, tetapi itu tidak mengurangi rasa cintanya. Ia bisa menuntut tetapi ia tidak melakukannya. Yusuf berbesar hati dan memilih untuk bersikap “mengampuni”.

Yusuf tidak menonjolkan egonya, ia tidak mencari-cari siapa laki-laki yang berhubungan dengan Maria, ia tidak meneror Maria. Ia melakukan sesuatu yang langka untuk dilakukan oleh orang-orang pada umumnya. Yusuf mengambil keputusan untuk melepaskan Maria. Yusuf tidak mencintai secara posesif. Tidak menganggap Maria sebagai hak yang harus dimiliki secara penuh hanya untuk dirinya. Yusuf berani melepaskan orang yang ia cintai demi kebaikan orang tersebut.

Yusuf tidak sekedar mengampuni, ia bisa melepaskan.

Berapa banyak dari kita yang mungkin bisa mengampuni, tetapi tidak bisa melepaskan? 
Kita mendendam, dan hanya mengingat hal-hal yang buruk dari orang yang pernah melukai kita. Entah itu mantan, teman, atau anggota keluarga kita.

Yusuf memilliki mencintai Maria seperti ia mencintai dirinya sendiri. Ia tidak membiarkan ego merusak dirinya. Ia juga tidak membiarkan rasa posesif “menghukum” Maria.

Kisah Yusuf yang singkat diawali dengan rasa cinta yang luar biasa.

Mengetahui ketulusan hati Yusuf, Tuhan kemudian mengirimkan Malaikat untuk menjelaskan kepadanya mengenai apa yang sebenarnya terjadi.

Yusuf telah “lulus” ujian, sekarang saatnya ia mengawali tugas pelayanannya.
Yusuf harus membawa Maria yang sedang mengandung untuk menggenapi janji Tuhan kepada umat Nya.

Tetapi engkau, hai Betlehem Efrata, hai yang terkecil di antara kaum-kaum Yehuda, dari padamu akan bangkit bagi-Ku seorang yang akan memerintah Israel, yang permulaannya sudah sejak purbakala, sejak dahulu kala. (Mikha 5 : 1)

120 Km harus ia tempuh bersama dengan Maria yang sedang mengandung. Ini bukan perjalanan yang mudah. Karenanya sosok Yusuf diperlukan untuk menjaga Maria. Yusuf mau menjalaninya tanpa merasa direpotkan oleh Maria. Tentu perjalanannya akan lebih mudah kalau ia benar-benar menceraikan Maria. Ia tidak perlu bersusah payah membawa Maria ke Betlehem.

Akan tetapi karena ketaatannya kepada Tuhan dan cintanya kepada Maria, ia bersedia pergi ke Betlehem. Ia bisa saja meninggalkan Maria. Tetapi Yusuf memilih untuk membawa Maria, untuk didaftarkan dalam sensus yang dilakukan di Betlehem. Artinya secara hukum dan di depan masyarakat, Yusuf mengakui Maria sebagai istrinya. Ia tidak sekedar menerima Maria karena “ini adalah perintah Tuhan” tetapi memang ia mencintai Maria dan ingin menyatakannya melalui hukum yang sah.

Misi menjaga Maria dalam perjalanan benar-benar ia lakukan dengan baik. Ia pun tidak menampakkan rasa kecewa ketika yang didapati di Betlehem hanyalah sebuah palungan.

Matius 2 : 6
Ketika mereka di situ, tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin.

Yusuf tidak membuang-buang waktu memaksa orang untuk menerima keluarganya (karena yang dikandung Maria adalah Juruselamat), ia sekali lagi tidak memajukan egonya. Yusuf memilih untuk mendahulukan kondisi Maria yang akan melahirkan. Ia membantu dan mendampingi Maria dalam persalinannya. Yusuf menjadi orang pertama yang menyentuh tubuh mungil sang Juruselamat.

Waktu pun berjalan dan keluarga kecil ini bisa menikmati kedamaian. Akan tetapi mereka harus segera mengungsi ke Mesir karena Herodes penguasa yang kejam takut akan kehadiran Sang Juruselamat. Yusuf sekali lagi harus menjaga Maria dan Yesus yang masih kecil untuk mengungsi ke Mesir. Dengan bekal dan harta seadanya mereka pergi ke Mesir.

Pengungsian ke Mesir tidaklah sesederhana yang kita bayangkan. Yusuf harus melepaskan cita-cita untuk menjadi seorang yang mapan. Kalau kita baca di Alkitab, Yusuf seolah tidak punya waktu untuk membangun kehidupan karirnya. Karena setelah beberapa saat di Mesir, Tuhan memerintahkan Yusuf untuk kembali ke tanah Israel, itu pun tidak ke Betlehem, tetapi kembali lagi ke Nazaret.

Demi keamanan keluarganya, Yusuf harus ikut berpindah-pindah. Tinggal sebagai orang asing. Memulai usaha, lalu mengulang lagi dari awal. Ini pengorbanan yang luar biasa. Seorang pemuda yang bersedia mengorbankan karirnya demi keluarga yang ia sayangi.

Adakah kita bersedia melepaskan karir dan kemapanan kita demi cinta kita kepada Tuhan?

Keputusan mengorbankan kemapanannya tampak jauh lebih baik daripada gambaran laki-laki macho yang sering ditampilkan di media.

Yusuf, lelaki yang dipilih Tuhan, bukanlah sosok jagoan yang pandai berkelahi. Ia tampak mempunyai rasa takut ketika mendengar Arkhelaus menggantikan Herodes untuk menjadi raja (Matius 2 : 22 -23). Disini tampak Tuhan tidak memilih seorang laki-laki yang tampak seperti jagoan, tetapi Ia memilih orang yang setia dan taat. Tuhan memilih pendamping yang bersedia mengorbankan hidupnya untuk menjaga Maria dan Yesus, yang tidak mengedepankan ego dan mengejar kesuksesan karirnya semata.

Masa muda yang dihabiskan sebagai orang asing dan berpindah-pindah bersama keluarganya tampak membuat Yusuf tidak dapat benar-benar memajukan usahanya.Hal ini tampak dari persembahan burung merpati yang ia berikan di Bait Allah (Lukas 2 : 22-24). Persembahan yang diberikan orang yang kaya akan materi biasanya berupa domba atau lembu. Tetapi Yusuf hanya dapat mempersembahkan burung merpati yang harganya jauh lebih rendah. Disini terlihat bahwa laki – laki yang mendampingi Maria tampak bukanlah seorang laki-laki dengan kekayaan yang melimpah.

Ini adalah suatu konsep yang berbeda dengan yang kita jumpai di masa kini. Dimana yang diutamakan dalam suatu hubungan adalah ketersediaan materi.

Yusuf, di mata Maria mempunyai sesuatu yang lebih dari sekedar materi. Ia mempunyai cinta yang tulus dan ketaatan akan Tuhan.

Dua merpati yang ia korbankan dipandang sempurna karena Yusuf telah mempersembahkan hidupnya untuk kemuliaan Tuhan. Yusuf tidak pernah menjadi kaya dan hanya dikenal sebagai tukang kayu seumur hidupnya. Nama Yusuf juga tidak pernah menjadi lebih populer daripada Maria, wanita yang ia cintai. Namun dibalik “tenggelamnya” nama Yusuf, ada kisah-kisah tak tertulis mengenai bagaimana ia menjadi seorang figur ayah bagi Yesus dan sebagai pendamping yang tepat untuk Maria.

Yusuf tidak pernah menyesal untuk mencintai Maria, wanita yang membawa hidupnya ke dalam “ketidakmapanan”.

Begitu juga Tuhan pun tidak pernah meninggalkan hidup Yusuf. Seperti Yusuf yang menggenggam tangan kecil Yesus, demikian juga Tuhan terus menyertai perjalanan hidup Yusuf. Di dalam keterasingan, ketakutan dan ketidakmapanan, Ia tetap menggenggam hidup Yusuf di dalam pemeliharaanNya.

Kisah cinta Yusuf dan Maria serta hubungan mereka dengan Tuhan tampak kontras dengan hubungan percintaan di masa kini yang dicengkram oleh ego, rasa posesif, ketergantungan akan materi serta segala sesuatu yang hanya tampak luar saja (penampilan fisik, popularitas).

Yusuf yang tidak berdialog melalui kata-kata di dalam Alkitab tampak lebih banyak “berdialog” kepada kita melalui tindakan yang ia tunjukkan. Cintanya nyata dalam tindakan, bukan hanya sekedar kata-kata yang indah. Ia menyatakan bahwa cinta membutuhkan ketulusan, kerendahatian dan pengorbanan. Terlebih lagi cinta membutuhkan ketaatan dan kepercayaan pada pemeliharaan Tuhan.

Cinta Yusuf bukan sekedar inspirasi di hari Valentine atau Natal, tetapi merupakan teladan yang dapat kita nyatakan dalam kehidupan sehari-hari dalam hubungan dengan orang yang kita cintai.

Tuhan memberkati.

*Bila ada diantara pembaca yang membutuhkan dukungan doa dan ayat Alkitab sebagai penuntun kehidupan, dapat menghubungi kami pada link ini :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar