Selasa, 18 Juli 2017

Perundungan (Bullying) Terhadap Orang dengan Disabilitas


Muhammad Farhan, adalah nama dari seorang mahasiswa yang menjadi korban perundungan di Kampus Universitas Gunadarma. Farhan adalah seorang mahasiswa yang hidup dalam spektrum autisme. Dalam berita yang disebarkan oleh beberapa media dituliskan bahwa Farhan adalah mahasiswa berkebutuhan khusus yang dirundung oleh beberapa mahasiswa lainnya, akan tetapi tidak dijelaskan alasan Farhan menjadi objek perundungan tersebut.

Nampaknya berita ini menjadi viral karena yang menjadi korban adalah orang dengan berkebutuhan khusus. Jika yang mengalami perundungan adalah orang “tanpa berkebutuhan khusus” maka peristiwa perundungan mungkin masih dianggap sebagai kewajaran, dan beritanya tidak akan”se-viral” berita tentang Farhan. Perundungan, secara diam-diam masih dianggap wajar oleh sebagian orang, entah dilakukan melalui media sosial atau dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan ironisnya institusi pendidikan pun tidak mampu menjadi tempat percontohan ruang anti-perundungan karena perundungan tidak sewajarnya dialami oleh setiap orang, baik orang dengan disabilitas maupun orang “tanpa disabilitas.”

Pengalaman Farhan secara khusus adalah contoh kecil dari pengalaman orang dengan disabilitas di Indonesia pada umumnya. Pengalaman dirundung seolah menjadi pengalaman yang wajar bagi orang dengan disabilitas di Indonesia. Sejak kecil, karena memiliki bentuk tubuh yang berbeda, cara bergaul yang berbeda, cara berpikir yang berbeda, dan cara bersikap yang berbeda, mereka sudah mengalami microaggresion melalui berbagai nama julukan yang diberikan, pandangan mata yang merendahkan, dilupakan dalam pergaulan, dan belum lagi stigma-stigma yang dilekatkan. Dan yang paling menyedihkan hal-hal sesehari yang mereka alami belum tentu dianggap sebagai kekerasan oleh keluarga, teman-teman, dan masyarakat pada umumnya. Seolah-olah apa yang mereka alami adalah konsekuensi alami sebagai orang dengan disabilitas yang hidup di ruang masyarakat yang “normal.”

Orang dengan disabilitas, terutama yang berasal dari keluarga ekonomi lemah dan tidak memiliki prestasi tertentu, akan terbiasa hidup dengan microaggresion tersebut. Terutama para perempuan dengan disabilitas intelektual yang ekonomi keluarganya tidak kuat sehingga tidak mendapatkan akses terhadap pendidikan yang memadai. Mereka adalah pribadi-pribadi yang paling rentan mengalami kekerasan dan eksploitasi.

Dalam hal ini mereka seringkali menjadi korban kekerasan dan eksploitasi seksual. Jika satu kasus perundungan terhadap Farhan menjadi viral, ada banyak kasus kekerasan terhadap perempuan dengan disabilitas intelektual yang “disimpan baik-baik” dengan berbagai alasan.

Menyadari keadaan yang menyedihkan ini, nampaknya tidak cukup hanya dengan mengutuki perbuatan para perundung tersebut. Tidak juga cukup hanya dengan memberikan sanksi terhadap para pelaku kekerasan. Kita perlu berjuang untuk menjadi pribadi anti-rundung, artinya juga “berteriak” ketika menyaksikan ada seseorang yang dirundung. Selain itu kita perlu belajar tentang apa itu disabilitas, bukan hanya karena ada anggota keluarga, atau teman yang hidup dengan disabilitas. Akan tetapi karena disabilitas adalah bagian dari tubuh kita sebagai manusia.

Bukankah kita tidak mampu dalam hal tertentu, kita mungkin mengalami kecelakaan atau sakit yang membuat tidak mampu melakukan apa yang sebelumnya mampu kita lakukan, dan yang pasti jika kita memiliki kesempatan untuk menua, kita pun sangat mungkin mengalami demensia dan menggunakan kursi roda, disabilitas pun tidak selalu tentang apa yang dapat dilihat mata. Jika kita belajar dengan hati, maka informasi tersebut bukan hanya untuk diketahui tetapi juga untuk dihidupi. Mari kita saling belajar, bukan hanya karena kasus Farhan, tetapi karena sudah sewajarnya kita belajar! Selama kita masih bertubuh, baiklah kita terus belajar.
 
“Nothing about Us without Us!”
Jakarta, 17 Juli 2017

Ditulis oleh Isabella Novsima Sinulingga
pada blog isabellanovsima 
 https://isabellanovsima.wordpress.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar