Beberapa hari lalu, saya mendapat kesempatan untuk melakukan konseling dengan seorang imigran asal Afghanistan. Ia mempunyai masalah yang membuatnya frustrasi dan melihat hidupnya seperti sia-sia saja. Sepanjang percakapan, saya mendapati bahwa pria ini sebenarnya adalah seorang yang sangat kuat. Ia berhasil lolos dari peperangan yang terjadi di Afghanistan. Menyeberangi lautan bersama keluarganya dan berpindah-pindah dari satu negara ke negara lainnya.
Hidupnya tidak mudah dan ia mampu bertahan sejauh ini. Saat saya mengungkapkan hal ini, ia menjawab bahwa manusia tidaklah terbuat dari besi. Suatu hari ia bisa merasa hancur.
Kondisi yang sama mungkin dialami juga oleh Elia yang setelah dipakai Tuhan untuk melakukan berbagai mujizat, akhirnya ia pun merasa lelah, bahkan merasa takut karena Ratu Izebel mengincar nyawanya. Begitu juga kalau kita melihat Musa, ada momen Musa seolah-olah ikut berteriak kepada Tuhan, meskipun sebenarnya ia pernah lebih dari satu kali bertemu Tuhan secara langsung. Daud sang pembunuh Goliath pun dalam Mazmur yang ia tulis seringkali ia mengungkapkan kegalauannya.
Alkitab menuliskan momen-momen "lemah" secara jujur dan terbuka. Orang-orang yang dipakai Tuhan dan menyaksikan mujizat secara langsung juga adalah orang-orang yang mendapat kesempatan untuk berada pada momen dimana mereka terlihat "lemah". Mereka menjadi lemah, hancur, takut, semuanya atas sepengetahuan Tuhan. Ia melihat dan membiarkan semuanya ini terjadi. Ia seringkali tidak memberikan jawaban yang instan yang sesuai dengan harapan mereka, ataupun harapan kita.
Memang berat bagi kita untuk memahami mengapa Tuhan ijinkan kita memasuki masa-masa yang tidak ingin kita jalani. Terlebih sangat berat untuk menerima dan tetap percaya bahwa Ia ada, di saat ada rasa sakit yang harus kita bawa.
Secara pribadi, di masa yang menyakitkan ini, mungkin Tuhan sudah menganggap saya "pantas" untuk berjalan melalui jalan yang Ia lewati. Ia memberikan kehormatan bagi saya dan mungkin orang-orang lainnya untuk ikut merasakan sakit yang juga pernah Ia alami. Menyangkal diri dan tetap memikul salib meskipun rasanya perih. Menahan diri dan tidak protes, dan terus berjalan dengan beban yang luar biasa.
Tuhan sebenarnya tidak pernah hanya sekedar berdiam dan menonton. Saya percaya Ia pun bersama saya memikul rasa sakit yang sama. Ia tidak menghilangkannya, tetapi Ia turut merasakannya. Ia tidak mengangkat kita dalam kebahagiaan, tetapi Ia yang masuk ke dalam penderitaan yang kita alami. Ia juga tidak membawa sukacita, tetapi Ia turut meneteskan air mata yang sama.
Memang ini sulit dipahami.
Tetapi itulah Dia, yang memilih untuk berada di jalan salib meskipun sebenarnya Ia bisa berada di tempat yang lebih mulia.
Tuhan memberkati.
Klik disini bila Anda sedang membutuhkan dukungan Doa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar