Kamis, 17 Agustus 2017

Secercah Terang bernama Jalaluddin Rumi


Jalaluddin Muhammad Rumi adalah seorang filsuf besar dari Persia yang lahir di daerah Balkh dan kemudian meninggal di Konya, Turki. Saya pertamakali mengenal Rumi dari seorang teman yang sering memposting quotes-quotes dari Rumi yang memang kata-katanya sangat indah. Setelah itu sedikit-sedikit saya mulai membaca karya-karya lain dari Rumi yang mudah ditemui di internet.

Rumi sendiri, meskipun berasal dari Timur Tengah dan juga seorang Muslim yang hidup di Islamic Golden Age, merupakan figur yang dikagumi di Amerika dan negara-negara Barat lainnya. Terbukti dari penjualan buku-buku yang berisi tulisan-tulisan Rumi yang laku keras (sumber BBC).

Tulisan Rumi yang mendalam dengan perenungan mistik yang kental menjadi daya tarik sendiri. Ia dapat mengungkapkan cinta dengan kata-kata yang indah. Ia juga berbicara mengenai kehidupan manusia dengan bahasa puitis yang getarannya dapat dirasakan oleh pembaca. Luka batin, kekelaman, sakit, kebebasan, ia alirkan secara jujur dan cantik.

Tulisannya jauh dari ketajaman untuk melukai orang lain atau untuk menciptakan gelombang kemarahan.


Sangat disayangkan memang, wilayah Afghanistan yang dulu melahirkan Rumi sekarang berubah menjadi wilayah yang penuh kekerasan dan bahaya. Dalam 30 tahun terakhir Afghanistan merupakan wilayah mengerikan yang memaksa penduduknya untuk pergi dan menjadi pengungsi. Filosofi Rumi yang dalam seolah-olah tidak ada artinya bagi sekelompok ekstremis yang berjalan dengan kekerasan.

Namun demikian, bagi para pengungsi Afghanistan (setidaknya mereka yang berinteraksi dengan saya), Rumi tetaplah menjadi kebanggaan mereka. Tokoh yang menjadi bagian dari budaya Persia yang tidak tergantikan. Ketika saya menyebut Rumi, mata mereka berbinar-binar, seolah-olah masih ada bagian indah dalam hidup mereka yang tersisa di tengah-tengah duka akibat perang yang mereka rasakan.

Rumi yang sudah lama meninggal sanggup membangkitkan secercah harapan dan kebanggaan untuk tetap hidup sebagai suatu bangsa. Meskipun harus jauh dari tanah air. Getaran antusiasme mereka yang "terbuang" dari negaranya begitu nampak dari cara mereka berbicara mengenai Rumi. Seolah ingin mengatakan, "kami belum hancur", "bangsa kami tidak identik dengan perang", "negara kami bukan negara teroris", "Kami punya Rumi", "Kami punya kebudayaan yang baik".

Sungguh luar biasa, bagaimana satu orang (satu orang!) mampu meninggalkan karya yang membangkitkan harapan bagi bangsanya yang saat ini sedang mengalami kesulitan.

Bagaimana dengan kita? Negara kita masih utuh.
Menjadi Rumi yang menginspirasi, atau menjadi bagian dari "kawanan jahat" yang mewarnai media sosial dengan sindiran, cemoohan, dan agresifitas verbal lainnya.

Menjadi Rumi yang membangkitkan semangat atau menjadi bagian dari "kawanan jahat" yang mengolok-olok tokoh yang tidak disukai.

Saya percaya bangsa Indonesia sesungguhnya juga mempunyai budaya yang baik dan manusiawi. Kita pun mampu mewariskan sesuatu yang baik untuk masa depan. Sesuatu yang menjadi bagian dari jiwa anak cucu kita. Sesuatu yang membuat mereka mempunyai kebanggaan. Sesuatu yang ketika mereka jatuh dalam kesulitan, mereka masih bisa tetap memandang diri mereka sebagai bagian dari bangsa yang baik.

Jangan diam! Jadilah bagian yang baik.
Tuliskan yang baik, lakukan yang baik.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar