Istilah Bulung Sangge-Sangge menjadi viral dalam seminggu
terakhir ini. Awalnya saya hanya membaca teman-teman yang memposting status di
media sosial dengan menggunakan kata-kata Bulung Sangge-sangge, kemudian
ditambah dengan gambar dan deretan kata-kata yang lucu. Karena tidak terlalu
paham akhirnya saya bertanya kepada seorang teman yang kemudian menjelaskan
asal usul dari meledaknya istilah bulung sangge-sangge.
(baca terus sampai akhir untuk sampai pada pembahasan mengenai cinta)
Ternyata bulung sangge-sangge ini menjadi terkenal karena
tulisan pada status Facebook seorang wanita yang sedang ada masalah dengan calon mertuanya.
Dimana pada salah satu percakapan yang ia upload di media sosial terdapat
kata-kata bulung sangge-sangge. Bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
artinya adalah setipis daun serai. Hahaha....daun serai juga saya tidak terlalu
tahu bentuknya seperti apa.
Terlepas dari konflik yang melatarbelakangi istilah bulung
sangge-sangge, suka tidak suka, mau tidak mau di jaman yang marak dengan media
sosial ini, istilah ini meledak dan menjadi sesuatu yang viral alias dibagikan
secara terus menerus. Namun berdasarkan apa yang saya pelajari terkait dengan
perkembangan media sosial, sesuatu yang viral biasanya tidak terlalu lama masa
beredarnya. Sama seperti istilah “Demi Tuhan” yang dulu dipopulerkan oleh Arya
Wiguna, “Om Telolet Om”, sampai kalau kita masih ingat di masa lampau istilah “Emang
Gue Pikirin” juga sempat populer.
Sesuatu yang viral atau tren sebenarnya juga berlaku di
dalam pelayanan di Gereja atau Sekolah Minggu. Baik yang sifatnya kreatif atau
topik pengajaran tertentu. Sesuatu yang viral pastilah menarik, sehingga banyak
orang ingin mempelajari atau menggunakan hal tersebut bahkan
menyebarluaskannya. Seperti saat peserta pelatihan Panggung Boneka mengikuti
seminar yang menarik dan atraktif, mereka merasa tertarik untuk menggunakan
Panggung Boneka sebagai alat bantu mengajar atau untuk ditampilkan pada
perayaan tertentu.
Sayangnya, tren yang tidak disertai dengan konsistensi atau
kegiatan rutin, pastinya akan menghilang. Panggung Boneka yang digunakan untuk
acara Natal atau Paskah dengan cepat akan teronggok di gudang penyimpanan
barang karena tidak terpakai lagi. Konsistensi atau rutinitas juga perlu
diimbangi dengan keseriusan untuk belajar. Untuk mau bersusah payah latihan,
memperbaiki tehnik bermain, dan lain-lain.
Pengalaman saya bermain panggung boneka tanpa latihan rutin
dan dengan latihan benar-benar sangat berbeda. Tanpa latihan, pertunjukkan
memang bisa berjalan, tetapi pastinya tidak seluwes bila sudah latihan.
Seringkali ada dialog yang terlupakan, gerakan yang keliru, bahkan ada pemain
yang blank di tengah-tengah pertunjukkan karena bingung tentang apa yang harus
dilakukan.
Mempelajari tehnik Panggung Boneka secara benar membutuhkan
waktu dan rutinitas latihan. Mulai dari menggerakkan mulut boneka dengan tepat,
memposisikan diri di balik tirai, membentuk kontak mata boneka dengan penonton,
dan lain-lain. Posisi berlutut sambil mengangkat tangan tinggi-tinggi untuk memposisikan
boneka tidak mudah untuk dilakukan karena bila tidak dibiasakan badan akan
miring ke kanan atau ke kiri dan membuat gerakan boneka menjadi tidak alami.
Bisa dibilang awalnya sangat menarik untuk melakukan
pertunjukkan Panggung Boneka, tetapi ketika dijalani secara serius, mulai
banyak tantangannya. Ada rasa capek, pegal, karena tangan senantiasa terangkat
ke atas, belum lagi lutut yang sakit karena seringkali untuk membuat boneka
berjalan, pemain harus berjalan dengan menggunakan lututnya.
Intinya untuk menghidupkan permainan Panggung Boneka,
diperlukan tehnik yang baik dan benar. Dan untuk mendapatkan tehnik yang baik
dan benar diperlukan konsistensi waktu latihan serta kesabaran.
Begitu juga dalam hal jatuh cinta, awalnya bisa semenarik
dan seviral masalah sangge-sangge. Segalanya terasa menyenangkan, tetapi lama
kelamaan bisa membosankan. Belum lagi kalau muncul tantangan atau sesuatu yang
menyakitkan. Pilihan untuk mundur atau berpaling ke yang lain menjadi sesuatu
yang wajar untuk dilakukan.
Cinta itu baiknya mengikuti prinsip latihan Panggung Boneka.
Harus secara konsisten dilakukan, meskipun seringkali ada pengorbanan yang
harus dilakukan. Kalau tidak dirawat dengan konsisten, apalagi tidak sabar saat
ada masalah, ya akan cepat bubarnya. Segalanya perlu dilakukan dengan baik,
mulai dari hal yang kita anggap sepele seperti kontak mata. Nah, sering kan
kita berkomunikasi dengan orang lain, termasuk dengan orang yang kita cintai
dengan tidak melakukan kontak mata. Entah karena malu, bosan atau menatap
handphone lebih menarik.
Dalam prinsip Panggung Boneka, kontak mata membuka hubungan
antara “hati” si boneka dengan hati penonton, meskipun sebenarnya pemain boneka
berada di balik tirai dan tidak secara langsung melihat penonton. Kontak mata
kita dengan orang yang kita cintai juga akan membuka hubungan tertentu yang
seringkali sulit digambarkan dengan kata-kata.
Tentunya membentuk kontak mata dan hubungan percintaan ada
prosesnya, sama seperti kita belajar Panggung Boneka. Tidak instan, tetapi sama
seperti tehnik bermain Panggung Boneka yang benar, bila sudah terbentuk akan
sulit untuk dihilangkan.
Beda sekali kan dengan sesuatu yang viral seperti si bulung
sangge-sangge yang barangkali hanya bertahan satu bulan.
Cinta yang hanya letupan sesaat pun akan hilang begitu saja.
Tetapi cinta yang bisa dipelihara dengan konsisten akan terbentuk dengan baik.
Belajarlah Panggung Boneka untuk lebih memahami cinta.
Lupakan masalah si bulung sangge-sangge yang hanya viral sesaat.
Semoga tulisan ini bisa menjadi inspirasi bagi pembaca
semua.
Tuhan memberkati.
Baca juga tulisan menarik lainnya mengenai Panggung Boneka :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar