Kamis, 12 Oktober 2017

Panggung Boneka, Sebuah Cinta dan Si Bulung Sangge-Sangge




Istilah Bulung Sangge-Sangge menjadi viral dalam seminggu terakhir ini. Awalnya saya hanya membaca teman-teman yang memposting status di media sosial dengan menggunakan kata-kata Bulung Sangge-sangge, kemudian ditambah dengan gambar dan deretan kata-kata yang lucu. Karena tidak terlalu paham akhirnya saya bertanya kepada seorang teman yang kemudian menjelaskan asal usul dari meledaknya istilah bulung sangge-sangge.

(baca terus sampai akhir untuk sampai pada pembahasan mengenai cinta)

Ternyata bulung sangge-sangge ini menjadi terkenal karena tulisan pada status Facebook seorang wanita yang sedang ada masalah dengan calon mertuanya. Dimana pada salah satu percakapan yang ia upload di media sosial terdapat kata-kata bulung sangge-sangge. Bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia artinya adalah setipis daun serai. Hahaha....daun serai juga saya tidak terlalu tahu bentuknya seperti apa.

Terlepas dari konflik yang melatarbelakangi istilah bulung sangge-sangge, suka tidak suka, mau tidak mau di jaman yang marak dengan media sosial ini, istilah ini meledak dan menjadi sesuatu yang viral alias dibagikan secara terus menerus. Namun berdasarkan apa yang saya pelajari terkait dengan perkembangan media sosial, sesuatu yang viral biasanya tidak terlalu lama masa beredarnya. Sama seperti istilah “Demi Tuhan” yang dulu dipopulerkan oleh Arya Wiguna, “Om Telolet Om”, sampai kalau kita masih ingat di masa lampau istilah “Emang Gue Pikirin” juga sempat populer.

Sesuatu yang viral atau tren sebenarnya juga berlaku di dalam pelayanan di Gereja atau Sekolah Minggu. Baik yang sifatnya kreatif atau topik pengajaran tertentu. Sesuatu yang viral pastilah menarik, sehingga banyak orang ingin mempelajari atau menggunakan hal tersebut bahkan menyebarluaskannya. Seperti saat peserta pelatihan Panggung Boneka mengikuti seminar yang menarik dan atraktif, mereka merasa tertarik untuk menggunakan Panggung Boneka sebagai alat bantu mengajar atau untuk ditampilkan pada perayaan tertentu.

Sayangnya, tren yang tidak disertai dengan konsistensi atau kegiatan rutin, pastinya akan menghilang. Panggung Boneka yang digunakan untuk acara Natal atau Paskah dengan cepat akan teronggok di gudang penyimpanan barang karena tidak terpakai lagi. Konsistensi atau rutinitas juga perlu diimbangi dengan keseriusan untuk belajar. Untuk mau bersusah payah latihan, memperbaiki tehnik bermain, dan lain-lain.

Pengalaman saya bermain panggung boneka tanpa latihan rutin dan dengan latihan benar-benar sangat berbeda. Tanpa latihan, pertunjukkan memang bisa berjalan, tetapi pastinya tidak seluwes bila sudah latihan. Seringkali ada dialog yang terlupakan, gerakan yang keliru, bahkan ada pemain yang blank di tengah-tengah pertunjukkan karena bingung tentang apa yang harus dilakukan.

Mempelajari tehnik Panggung Boneka secara benar membutuhkan waktu dan rutinitas latihan. Mulai dari menggerakkan mulut boneka dengan tepat, memposisikan diri di balik tirai, membentuk kontak mata boneka dengan penonton, dan lain-lain. Posisi berlutut sambil mengangkat tangan tinggi-tinggi untuk memposisikan boneka tidak mudah untuk dilakukan karena bila tidak dibiasakan badan akan miring ke kanan atau ke kiri dan membuat gerakan boneka menjadi tidak alami.

Bisa dibilang awalnya sangat menarik untuk melakukan pertunjukkan Panggung Boneka, tetapi ketika dijalani secara serius, mulai banyak tantangannya. Ada rasa capek, pegal, karena tangan senantiasa terangkat ke atas, belum lagi lutut yang sakit karena seringkali untuk membuat boneka berjalan, pemain harus berjalan dengan menggunakan lututnya.

Intinya untuk menghidupkan permainan Panggung Boneka, diperlukan tehnik yang baik dan benar. Dan untuk mendapatkan tehnik yang baik dan benar diperlukan konsistensi waktu latihan serta kesabaran.

Begitu juga dalam hal jatuh cinta, awalnya bisa semenarik dan seviral masalah sangge-sangge. Segalanya terasa menyenangkan, tetapi lama kelamaan bisa membosankan. Belum lagi kalau muncul tantangan atau sesuatu yang menyakitkan. Pilihan untuk mundur atau berpaling ke yang lain menjadi sesuatu yang wajar untuk dilakukan.

Cinta itu baiknya mengikuti prinsip latihan Panggung Boneka. Harus secara konsisten dilakukan, meskipun seringkali ada pengorbanan yang harus dilakukan. Kalau tidak dirawat dengan konsisten, apalagi tidak sabar saat ada masalah, ya akan cepat bubarnya. Segalanya perlu dilakukan dengan baik, mulai dari hal yang kita anggap sepele seperti kontak mata. Nah, sering kan kita berkomunikasi dengan orang lain, termasuk dengan orang yang kita cintai dengan tidak melakukan kontak mata. Entah karena malu, bosan atau menatap handphone lebih menarik.

Dalam prinsip Panggung Boneka, kontak mata membuka hubungan antara “hati” si boneka dengan hati penonton, meskipun sebenarnya pemain boneka berada di balik tirai dan tidak secara langsung melihat penonton. Kontak mata kita dengan orang yang kita cintai juga akan membuka hubungan tertentu yang seringkali sulit digambarkan dengan kata-kata.

Tentunya membentuk kontak mata dan hubungan percintaan ada prosesnya, sama seperti kita belajar Panggung Boneka. Tidak instan, tetapi sama seperti tehnik bermain Panggung Boneka yang benar, bila sudah terbentuk akan sulit untuk dihilangkan.

Beda sekali kan dengan sesuatu yang viral seperti si bulung sangge-sangge yang barangkali hanya bertahan satu bulan.

Cinta yang hanya letupan sesaat pun akan hilang begitu saja. Tetapi cinta yang bisa dipelihara dengan konsisten akan terbentuk dengan baik.

Belajarlah Panggung Boneka untuk lebih memahami cinta. Lupakan masalah si bulung sangge-sangge yang hanya viral sesaat.

Semoga tulisan ini bisa menjadi inspirasi bagi pembaca semua.
Tuhan memberkati.

Baca juga tulisan menarik lainnya mengenai Panggung Boneka :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar