Satu tahun yang lalu masa Natal saya lewati dengan penuh
kepahitan dan kebingungan. Sebabnya di bulan Desember 2018 saya baru kehilangan
pekerjaan. Saya kehilangan pekerjaan tersebut karena kondisi kesehatan mental
saya yang terus menurun, sehingga mau tidak mau saya memilih untuk mengundurkan
diri.
Pekerjaan tersebut baru saya jalani selama beberapa bulan
dimana demi pekerjaan ini saya telah berhenti dari pekerjaan yang saya lakukan
sebelumnya.
Terbayang saya akan menjadi pengangguran di tahun 2019, sekaligus
menjadi seorang yang mengalami “sakit mental”. Yang sudah pasti ada adalah rasa
malu yang besar. Tidak bisa menjelaskan ke teman atau orang-orang terdekat
mengenai kondisi yang saya alami. Selain itu uang tabungan untuk membantu
penghidupan keluarga juga entah bisa bertahan sampai kapan.
Butuh proses kerendahan hati dan penerimaan diri untuk
menjalani kehidupan di awal-awal tahun 2019. Menerima bahwa saya bukan hanya
memulai dari nol tetapi memulai dari minus.
Sesi-sesi konseling dengan Psikolog saya jalani selama
hampir setengah tahun (sampai Juni 2019), perlahan juga saya mulai mengambil
beberapa pekerjaan yang tidak mengikat waktu. Termasuk seringkali saya
menjalankan pekerjaan yang kalau dinilai dari uang bisa dibilang pas-pasan
(untuk biaya transport dan makan).
Saya tidak tahu dimana titik baliknya. Beberapa pekerjaan
baru yang saya tekuni ternyata berkembang dengan baik. Saya mendapatkan
proyek-proyek dengan nilai yang cukup besar. Dalam beberapa kesempatan bahkan
saya harus menolak proyek-proyek lain yang ditawarkan kepada saya karena
keterbatasan waktu yang saya miliki.
Mungkin ada diantara teman-teman yang membaca tulisan ini
sedang berada dalam kondisi yang mirip dengan yang saya alami tahun lalu, atau
mungkin kondisi yang lebih parah lagi. Natal yang tidak terasa sukacitanya.
Kebingungan di tengah-tengah berondongan ayat tentang pengharapan. Merasa asing
di pusaran hiruk pikuk Natal.
Natal dengan kondisi Pencarian Harapan atau Natal dengan
mengais sisa-sisa Kehidupan saya rasa bukanlah hal yang salah. Tuhan pun bisa
memahami.
Di Alkitab diceritakan pencarian orang-orang Majus terhadap
Raja yang baru dilahirkan. Bila dibaca dengan teliti, orang-orang Majus tidak
berjumpa dengan Yesus saat KelahiranNya. Orang-orang Majus agak “terlambat”
datang. Mereka tiba saat Yesus sudah bertumbuh menjadi seorang anak, bukan lagi
bayi. Yusuf dan Maria sudah tinggal di sebuah rumah, bukan lagi sedang bermalam
di kandang.
Orang-orang Majus melewatkan momen Natal karena mereka saat
itu masih dalam Pencarian. Mungkin mereka masih harus menembus padang gurun
yang panas, atau sedang menghadapi bahaya di dalam perjalanan. Bisa jadi mereka
juga terpaksa berhenti beberapa saat karena kegelapan malam. Sementara ada
sukacita di momen kelahiran Yesus, orang-orang Majus melewatkannya. Tidak bisa
turut serta dalam sukacita Natal.
Kondisi saya di tahun kemarin dan mungkin kondisi
teman-teman juga bisa jadi berada dalam titik Pencarian seperti yang dilakukan
oleh orang-orang Majus. Mungkin Harapan itu akan ditemukan di bulan-bulan
mendatang, tahun depan, atau beberapa tahun lagi. Menjadi sebuah proses
perjalanan panjang yang akan berakhir ketika kita berjumpa denganNya. Tidak
harus di masa Natal.
Tuhan memberkati.
Ditulis oleh : SM, Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar